Berdasarkan majalah NU (Nahdlatul ‘Ulama) yang terbit pada tahun 1940, pada tahun 1939 terlaksana kongres umat Islam ke-2 di Solo. Kongres tersebut dihadiri oleh 25 orang ulama’ besar dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia, antara lain PSII, Muhammadiyah Yogyakarta, PERSIS, NU Surabaya, Al-Irsyad dan sebagainya. Kongres tersebut menghasilkan keputusan mengenai Pesantren Luhur.
Dokumentasi tentang keputusan rencana mendirikan pesantren Luhur di berbagai kota besar diberikan oleh Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, SH. kepada Prof. Dr. Mr. H. Moh. Koesnoe yang untuk selanjutnya disampaikan kepada Sekjen Depag yaitu Bapak H. Moh. Anshor (Mertua Prof. Koesnoe). Pada waktu itu menteri agama dijabat oleh Kyai H. Syaifuddin Zuhri. Ka...
Berdasarkan majalah NU (Nahdlatul ‘Ulama) yang terbit pada tahun 1940, pada tahun 1939 terlaksana kongres umat Islam ke-2 di Solo. Kongres tersebut dihadiri oleh 25 orang ulama’ besar dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia, antara lain PSII, Muhammadiyah Yogyakarta, PERSIS, NU Surabaya, Al-Irsyad dan sebagainya. Kongres tersebut menghasilkan keputusan mengenai Pesantren Luhur.
Dokumentasi tentang keputusan rencana mendirikan pesantren Luhur di berbagai kota besar diberikan oleh Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, SH. kepada Prof. Dr. Mr. H. Moh. Koesnoe yang untuk selanjutnya disampaikan kepada Sekjen Depag yaitu Bapak H. Moh. Anshor (Mertua Prof. Koesnoe). Pada waktu itu menteri agama dijabat oleh Kyai H. Syaifuddin Zuhri. Karena beliau tertarik dengan gagasan tersebut, maka dikalangan Depag dibentuk Dirjen Pesantren Luhur dan Perguruan Tinggi. Untuk merespon program Depag tersebut, maka di Malang pada awal tahun 1960 didirikan Pesantren Luhur oleh tokoh-tokoh Islam Malang antara lain Kyai H. Ghozali, Prof. Dr. Mr. H. Mohammad Koesnoe, Kyai H. Usman Mansyur dan Prof. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.
Pesantren Luhur banyak melakukan hal di bidang pengajaran kajian kitab kuning yang biasanya dikaji oleh pesantren-pesantren salafiyah, karena santrinya adalah mahasiswa lulusan madrasah aliyah atau sederajat. Antara tahun 1965-1973 pesantren Luhur mengalami kevakuman karena angggotanya disibukkan oleh dengan pendirian IAIN dan menjadi dosen pada perguruan tinggi tersebut. Mengingat pesantren Luhur adalah milik umat, maka pesantren Luhur dihidupkan kembali oleh sebagian anggota yang lama, yaitu Prof. Dr. Mr. H. Moh. Koesnoe, Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor SH, Drs. H. Wiyono SH, Ust. Bukhori LAS, Ali Budiarto, SH, Ali budiarto, SH, Kyai H. Muhammad bin Hafidz, Ust. Assegaf, dan Kyai H. Mujib.
Pada tahun 1972 sampai 1975 pesantren Luhur mengadakan riset Sunan Giri, menyusun buku Wali Songo dan Sunan Giri yang dicetak dan diedarkan untuk khalayak umum. Pada saat itu Lokasi Pesantren Luhur adalah di Jl. Mayjen Haryono 193. Hal ini dibuktikan dengan adanya Majalah Pesantren Luhur yang terbit pada tanggal 1 Agustus 1975 . Pada saat itu Pesantren Luhur berjasa dalam mendirikan Majlis Persatuan Santri Indonesia yang ditindak lanjuti dengan pendirian STIH (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) di Malang. Pada tahun 1976, tokoh Pesantren Luhur dan tokoh UNSURI mengubah UNSURI menjadi UNISMA. Sejak berdirinya STIH dan UNISMA, Pesantren Luhur mulai kekurangan perhatian karena tenaga-tenaga aktif dalam dua perguruan tinggi tersebut.
Pesantren Luhur Malang saat ini berada di jalan raya Sumbersari no 88 Malang dengan kondisi yang strategis. Pengasuh sering menegaskan bahwa santri yang menempati pesantren Luhur selama ≥ 4,5 tahun, akan menjadi Ahlul mahad dan selalu mendapatkan kiriman doa dari santri setiap hari. Dan mereka yang ≤ 4,5 tahun dianggap sebagai alumni. Banyak alumni maupun Ahlul mahad yang menjadi (orang) yang menduduki jabatan penting, seperti rektor UNISLA Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor SH., Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof. Dr. Imam Suprayogo, dan Dr. H. Shodiqin, SH., sebagai rektor UNISMA serta jabatan penting lain seperti ketua dan anggota DPRD di berbagai kabupaten dan kotamadya di Jawa Timur.
Meskipun awal berdirinya ditetapkan oleh umat, namun pengasuh yang dikenal sebagai pemimpin pesantren Luhur era ketiga ini adalah Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S.H. Beliau lahir di Babat, Lamongan pada 9 Agustus 1939. putra dari pasangan H. Muchdlor dan Hj. Nasiyah yang merupakan salah satu keluarga yang berpengaruh, di Desa Kauman, Babat, Lamongan. Dari pasangan suami istri tersebut lahir sepuluh putra dengan ragam keinginan dan prestasi yang memberi sumbangsih positif, baik bagi keluarga maupun masyarakat. Putra pertamanya H. Khozin, anak sulung yang berprofesi seperti ayahnya (pedagang bahan-bahan tekstil). Putra ketiganya adalah H. Hasan, lalu Anas yang pernah kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Maliki Malang) dan menjadi mahasiswa Abah Mudlor. Pasangan suami istri tersebut juga melahirkan sosok pejuang bangsa, yakni H. Faqih yang mengantongi profesi sebagai tentara, di zaman Agresi Militer Belanda dua. Abah Mudlor sendiri merupakan anak keenam yang memiliki magnet ilmu dengan daya tarik terkuat diantara sepuluh saudaranya. Sedangkan, satu-satunya putri bungsu keluarga H. Muchdlor adalah Amanah, anak dari sepuluh bersaudara. yang memiliki bakat masak Yang khas diwarisi dari ibunya. Hingga saat ini, si bungsu inilah yang menempati kediaman orang tuanya sepeninggal mereka.
Memasuki usia Sembilan tahun, tepatnya ketika duduk di kelas III MI, Abah Mudlor tertarik untuk melakukan perjalanan spiritual di pesantren Sawahan, Babat. Selama tiga tahun, sejak tahun 1948 sampai 1951, Abah Mudlor mengabdi pada Kyai Mudhofar. Meski disibukkan dengan kepentingan intelektual, beliau tidak menafikkan bakat seni yang dimiliki. Hampir semasa penambahan namanya yang semasa kecil bernama Ahmad sekarang menjadi Achmad Mudlor, beliau menginisiasi terbentuknya orkes sederhana Bunga Tanjung bersama kelima personil lainnya. Dalam setiap pementasan, Abah Mudlor dinobatkan sebagai pemegang kendali yakni MC dan juga memegang akordeon. Aktivitas ini beliau lakukan semenjak dinyatakan lulus dari MI Attahdzibiyah tepat tanggal 1 Januari 1950.
Setelah tamat MI Attahdzibiyah, Abah Mudlor melanjutkan sekolah di SGAI Bojonegoro selama tiga tahun dan satu tahun setelahnya. berada di bawah naungan sekolah Muhammadiyah untuk pengabdian. Disaat sekolah inilah, Abah Mudlor sekaligus menuntut ilmu di Pesantren Kendal, Dander, Bojonegoro di bawah asuhan Kyai Abu Dzar. Setelah belajar pada Kyai Abu Dzar, beliau melanjutkan perjalanan spiritualnya ke Pesantren Langitan, Widang, Tuban. Pada tahun 1954, Abah Mudlor termotivasi melanjutkan sekolah di SMA C Semarang Jurusan Ekonomi Sosial, sebab darah dagang yang dimilikinya. Beliau belajar disekolah ini selama dua tahun, semasa sekolah beliau tinggal di kediaman Kyai NU Semarang, Kyai Kholiq yang masih berhubungan kerabat jauh dengan Abah Mudlor, tepatnya tinggal di masjid dekat kediamannya. Hingga pada tahun 1955, Abah Mudlor selesai belajar di Semarang dan kembali intens di pesantrennya semula, Langitan.
H. Muchdlor, ayah Abah Mudlor, meminta kesediaan pengasuh secara personal agar putranya diberi kesempatan menjadi ustadz di Madrasah Ibtidaiyah Langitan. Melalui negosiasi itu, Abah Mudlor diberi wewenang untuk mengampu kelas 4, 5, dan 6 MI Falahiyah Langitan.
Hal positif lain yang dilakukan abah Mudlor di Langitan adalah berinisiatif mendirikan forum halaqoh. Adapun isi daripadanya adalah multi disiplin ilmu yang cakupannya antara lain tasawuf filsafat, pembahasan hukum hingga ekonomi, serta kimia dan beragam disiplin ilmu lain. Dengan demikian, perbendaharaan ilmu yang diperoleh semakin banyak dan terbentuk sikap ilmiah pada diri santri.
Setelah membaca riwayat filsuf Imam Al-Hakim At-Tirmidzi, Abah Mudlor tergelitik untuk terus memperbanyak guru. Abah Mudlor memiliki cara tercepat untuk mendapatkan ilmu. Di Pesantren asuhan Kyai H. Ali Maksum, awalnya beliau mendekati kyai-kyai kecil. Setelah akrab, para kyai diminta membacakan kitab untuknya dengan imbalan bisyaroh sekadarnya. Hampir empat kitab selesai dipelajari dalam waktu satu minggu. Selain itu, Abah Mudlor juga mempelajari bermacam hizib di Pesantren yang diasuh oleh Syiekh Muhammad Idris, Cirebon.
Saat berada di Pesantren Langitan, Abah Mudlor bertemu dengan Sayyid Muhammad Al-Jufri. Setelah Abah Mudlor pergi meminta bantuan pembangunan pesantren ke Semen Gresik bersama Sayyid Muhammad Al-Jufri, Sayyid Muhammad Al-Jufri memberikan pilihan tiga tempat untuk berjuang, yaitu Semarang, Jogjakarta, atau Malang. Kejadian inilah titik tolak perjuangan Abah Mudlor di Malang.
Maka dari itu, beliau memiliki salah satu semboyan Untuk mencapai cita-cita agungnya, ‘didengungkan dengan ungkapan Hum Rijalun Nahnu Rijaalun (mereka lelaki kita juga lelaki).
baca selengkapnya di:
https://pesantrenluhur.or.id/sejarah-berdirinya-lembaga-tinggi-pesantren-luhur-malang/
https://pesantrenluhur.or.id/prof-dr-kyai-h-achmad-mudlor-sh-1937-2013-m-2/